Selasa, 09 Desember 2008

PERTISIPASI PUBLIK DALAM PEMBUATAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


Dalam sebuah Negara demokrasi peranan dan kedudukan masyarakat tidak dapat dipisahkan dari adanya keikutsertaan dalam proses pembuatan kebijakan public sekalipaun tidak secara langsung dalam prosesnya, namun demikian bahwa salah satu cirri Negara demokrasi adalah Negara yang mengakui adanya kedaulatan rakyat artinya bahwa sisitem pemerintahan yang demokratis adalah sisitem pemerintahan yang meletakan kedaulatan dan kekuasaan berada ditangan rakyat. Semua proses pembuatan kebijakan yang menyangkut kepntingan rakyat harus didasarkan pada kedaulatan ini. Sehingga tidak dapat di pungkiri peran dari publik untuk ikut ambil bagian untuk berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijkan publik.
[1]
Partisipasi publik merupakan usaha yang terorganisir oleh warga Negara dalam membentuk rancangan perundng-undangan serta mempengaruhi bentuk dan jalannya kebijaksanaan umum,usaha ini dilakukan berdasarkan kesadaran akan tanggung jawab mereka terhadap kehidupan bersama sebagai suatu bangsa dalam suatu Negara.[2]
Partisipasi Masyrakat dalam mewujudkan penyusunan legislasi merupakan seasuatu yang harus ada agar proses kebijakan yang dibuat tidak terkesan pada kepentingan satu arah.Terminologi "legislasi" mualai menjadi istilah yang trend penggunaannya sekitar pada pertengahan tahun 1990-an yang didefinisikan sebgai "Membuat Undang-Undang",kemudian peruibahan UUD 1945 juga telah mengelaborasi terminolgi ini .Oleh karena itu "Pnyusunan legislasi" dapat diartikan sebagai "pembentukan undang-undang".
Lewat makalah ini pemakalah berusaha memaparkan keberadaan dan urgensi partisipasi public dalam proses pembuatan undang-undang yang merupakan upaya kroscek dan control terhadap draf RUU yang dibuat pemerintah agar tidak terkesan bahwa kebijakan yang dibuat pemerintah berorientasi pada kepentingan searah.
Sejak bulan November 2004 , proses pembuatan undang-undang yang selama ini dinaungi oleh beberapa peraturan kini mengacu pada satu undang-undang, yaitu Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP). Undang-undang ini disahkan dalam Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tanggal 24 Mei 2004 dan baru berlaku efektif pada bulan November 2004. Proses pembuatan undang-undang setelah berlakunya UU PPP terbagi menjadi beberapa tahapan, yaitu perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan (Pasal 1 angka 1 UU PPP)
Sementara menurut Erni Setiyowati dari PSHK (Pusat Studi Hukum dan Kebijakan) mengatakan bahwa produk perencanaan legislasi dan bagaimanapun isinya, setidaknya harus ada tiga hal yang harus dijadikan catatan. Pertama, harus ada visi yang jelas dalam penyusunan Prolegnas ini. Visi inilah yang seharusnya dijadikan pijakan untuk membuat rencana undang-undang apa saja yang harus disusun dalam lima tahun ke depan. Sebab, karena sifat pengaturan dan legitimasinya, pembaruan negara ini yang bersifat struktural dituangkan dalam bentuk legislasi. Apabila perencanaan ini tidak bervisi, akibatnya yang tersusun hanyalah daftar keinginan tanpa arah yang jelas. Kedua, dengan argumentasi yang sama, harusnya ada partisipasi masyarakat dalam penyusunan prioritas legislasi. Ketiga, perlu ada sistem evaluasi yang baik untuk menilai pencapaian Prolegnas ini setiap tahunnya, agar skala prioritas penyusunan undang-undang bisa didasarkan pada kondisi obyektif dan kebutuhan masyarakat.
[3]Jadi partisipasi masyarakat adalah sesuat yang tidak bisa ditinggalkan dalam prose pembentukan peraturan perundang-undangan.
Sementara pemahaman Pemerintah dan DPR terhadap istilah parisipasi adalah mengahdirkan beberapa segelintir orang dalam forum tertentu ,sebgai legitimasi telah hadirnya Menurut Arnstein bahwa. Partisipasi tersebut termasuk kedalam kategori partisipasi semu (tokenism ), kalau masyarakat mau mengikut pada tangga partisipasinya. Parisipasi semu sendiri menurut Arnstein masih terbagi dalam tiga tingkatan diantaranya tingkatan informasi (informing), konsultasi (Counsultation) dan peredaman (placation)
[4].Pada tahapan informasi masyarakat hanya diberikan informasi dan sifatnya hanya satu arah. Di Indonesia, dalam proses ini perancangan yang meliputi penyiapan, pengolahan dan perumusan RUU dilaksanakan oleh biro hukum atau satuan kerja yang menyelenggarakan fungsi di bidang peraturan perundang-undangan pada lembaga pemrakarsa, kemudian hasil rancangan disampaikan ke panitia antar departemen. Panitia antar departemen menyampaikan rumusan akhir kepada pemrakarsa. Setelah itu RUU disebarluaskan kepada masyarakat. Panitia antar departemen kemudian melakukan penyempurnaan berdasarkan masukan dari masyarakat [5]. Pada tahap konsultasi ,aspirasi masyarakat sudah didengar dalam pengambilan kebijakan, akan tetapi belum ada jaminan bahwa pendapat masyrakat akan di pertimbangkan. Dan terakhir pada tahap peredaman masyarakat sudah mempunyai pengaruh terhadap kebijakan ,akan tetapi sifatnya belum sejati, keberhasilannya masih di tentukan oleh solidnya kekuatan masyarakat dalam mengkritisi RUU atau Raperda dengan berbagi cara untuk berpartisipasi.
Berkenaan dengan diatas menurut Prof.Dr.Miftah Thoha bahwa salah satu diantara prinsip system pemerintahan demokratis adalah adanya konsultasi rakyat (Popular Consultation ) dimana prinsip ini mempuunyai dua ketentuan yakni:Pertama,Negara harus mempunyai mekanisme yang melembaga yang dipergunakan oleh pejabat –pejabat Negara untuk memahami dan mempelajari kebijakan public sesuai dengan yang dikehendaki dan dituntut oleh rakyat.Kedua,Negara mampu mengetahui secara jelas preferensi-preferensi rakyat.Dengan demikian pejabat-pejabat pemerintah bisa meletakan preferensi tersebut dalam kontek pembuatan kebijakan public walaupaun preferensi tersebut tidak seluruhnya terpakai.
[6]Jadi jelas bahwa parisipasi masuarakat dalam proses pembentukan undang-undang adalah merupakan pilar penting sebuah sitem pemerintahan yang demokratis.
Dalam amandemen UUD 1945 sebagaimana kita ketahui pada dua pasal yang dirubah berimplikasi pada penguatan posisi DPR sebgai lembaga legislatif,pergeseran kekuasaan legislatif terebut dapat diperhatikan dalam dua pasal perubahan UUD 1945,yaitu :
[7]
Pasal 5 (ayat 1) UUD 1945 ,yang semula menyatakan "Presiden memegang kekuasaan dalam membentuk Undang –undang dengan persetujuan DPR",diubah menjadi "Presiden berhak mengajukan rancangan Undang-Undang kepada DPR"
Pasal 20 (ayat 1) UUD 945, kembali menegaskan bahwa DPR sebgai pemegang kekuasaan untuk membentuk undang- undang.sedangkan dalam rumusan pasal 20 ayat 1 ini sebelumnya berbunyi "Tiap Undang-Undang menghendaki persetujuan DPR".
Darii perubahan yang terjadi diatas bahwa alasan yang mendasar adanya penguatan posisi DPR adalah karena DPR merupakan lembaga perwakilan rakyat , tempat rakyat menyampaiikan aspirasinya. Oleh karena itu DPR harus dapat merealisasiikan kekuasaanya sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 untuk kepentingan rakyat yang diwakilinya. Di Indonesia, secara formal RUU dirancang oleh presiden, DPR, dan DPD. Khusus untuk DPD, perancangan dilakukan terbatas pada RUU yang dapat diusulkan oleh DPD, sesuai dengan UUD, yaitu RUU yang berhubungan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah.
Dalam proses pembentukan perundang-undangan ,masyrakat berhak memberikan masukan baik secara tulisan maupun tertulid dalam rangka penyiapan dan pembahasan RUU dan Ranperda.Dalam hal ini, hak masyarakat dilaksanakan dengan sesuai tata tertib DPR dan DPRD (penjelasan pasal 53 UU) dalam UU sekarang sudah diatur tentang penyebarluasan draft RUU agar khalayak ramai mengetahuinya atau raperda yang dibahas di DPR dan di DPRD.Dengan tujuan agar masyarakat dapat memberikan masukan atau materi RUU atau Ranperda yang sedang dibahas tersebut.
[8]
Kelompok masyarakat sipil yang paling intens mendvokasi UU No.10/2004 adalah koalisi masyarakat sipil untuk kebijakan partisipatif atau sering disingkat (KKP) dan yang tergabung dalam kebijakan koalisi partisipatif,dan para individu yang concern seperti para akademisi, para pakar dan wartawan.koalisi kebijakan partsipatif (KKP) merupakan sebuah organisasi non pemerintah yang beranggotakan individu dan organisasi –organisasi masyarakat sipil.[9]Koalisi memiliki tujuan yang hendak dicapai yakni terwujudnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan kebijakan Negara dan KKp memiliki empat misi utama diantaranya:[10]
Mendorongmunculnya kelompok masyarakat yang ikut menentukan pengambilan keputusdan dan kebijakan Negara.
Mendorong munculnya masyarakat yang kritis dan terorganisir sehingga mampu mempengaruhi pengambilan keputusan kebijakan Negara.
Mendorang munculnya alternatif usulanmasyarakat dalam proses penyusunan penyiapan dan pembahasan keputusan dan kebijakan Negara.
Memperkuat hubungan dan kerja advokasi,kebijakan antara koalisi kelompok-kelompok masyarakatsipil pendukung.
Adapun latar belakang terbentuknya KKP adalah merupakan respom dari trend yang berkembang ,setidaknya ada empat yang melatarbelakangi siantaranya:
1. Trend pertama adalah bahwa pembentukan beragam produk perundang-undangan di tingkat pusat maupun daerah serta dampak yang ditimbulkan .Dampak yang dimaksud adalah tiap-tiap daerah berlomba membentuk peraturan di tingkat local berdsarkan logika kepentingan masing-masing daerah.
2. Trend kedua adalah terbentuknya ruang politik dan munculnya kesadaran dan keinginan public untuk berperan serta dalam prosses pengambilan kebijakan.
3. Trend ketiga adalah munculnya kesadaran aparatur Negara tentang pentingnya leterlibatan masyarakat dalam pengambilan kebijakan.
4. Trend yang ke empat adalah adanya trend komunikasi internasional yang mendorong pemenuhan HAM secra universal demi terwujudnya good governance,dimana partisipasi masyarakat merupakan persyaratan penting.
Demikian apa yang dapat pemakalah paparkan dan dapat diambil kesimpualan bahwa prtisipasi masyarakat atau public adalah satu prinsip yang sangat urgen dalam ikut serta pembentukan kebijakan atau peraturan perundang-undangan, dimana hal ini merupakan satu pilar penting dalam system pemerintahan yang demokratis.Dengan adanya partisipasi public terhadap peoses pembentukan kebijakan baik dengan usulan maupun kritikan adalah sebuah control dan upaya menghindari prduk kebijakan yang berorientasi pada kepentingan seaarah.Selain itu juga membantu pemerintah dalam proses penentuan kebijakan yang dikehendaki rakyat,karena dengan adanya partisipasi public setidaknya diketahui apa yang menjadi preferensi rakyat.

Oleh : Fathudin Alkalimasy


Tidak ada komentar: