Selasa, 09 Desember 2008

Hukum Keluarga Islam di Malaysia




Pendahuluan
Berbicara tentang Negara Malaysia ada keunikan tersendiri,. Sebagaimana kita ketahui bahwa Malaysia menyuguhkan suatu pengalaman Islam yang unik. Malaysia adalah sebuah masyarakat yang multi-etnik, multi-komunal dan multi-agama tempat bangsa Melayu yang merupakan 45 persen dari seluruh penduduknya. Namun demikian bangsa melayu mempunyai kekuatan politik dan budaya yang dominan. Sisanya terdiri dari berbagai kelompok etnik dan keagamaan dan yang terbesar adalah komunitas Cina (35 persen) dan India (10 persen). Tidak dapat dielakan bahwa keberadaan dua etnik tersebut di Malaysia merupakan produk sejarah. Sebagaimana kita ketahui bahwa Malaysia (Melayu) berada pada persimpangan jalur perdagangan Asia Tenggara, semenananjung Melayu menjadi pusat berkumpulnya berbagai pengaruh Agama dan Kebudayaan karena disinilah para pedagang dari India, Arab, dan Cina serta kaum penjajah Portugis, Belanda dan Inggris membawa serta ajaran Hindu, Budha, Kristen dan Islam ke Asia sehingga membentuk mozaik kebudayaan yang sangat kaya warna.
Dua proses kebudayaan yang paling kuat membentuk wilayah tersebut adalah Indianisasi yang berlangsung selama berabad-abad yang kemudian disusul dengan Islamisasi dari abad keempatbelas disaat para pedagang Muslim dan para Sufi dari Arab dan India mengajak para penguasa (sultan) Melayu untuk memeluk Agama Islam dan menyebarkan Islam ke seluruh wilayah Asia Tenggara.[1]
Karena Negara Malaysia juga merupakan bekas daerah jajahan Portugis dan Belanda yang kemudian disusul dengan kedatangan Inggris pada akhir abad ke-18. Tentunya hal tersebut nantinya akan berpengaruh terhadap produk hukum yang dibuat Malaysia , karena tidak menutup kemungkinan hukum yang dibawa penjajah juga membumi di Malaysia. Dari beberapa uraian diatas merupakan pijakan penulis untuk membahas Hukum Keluarga Islam di Malaysia karena disamping menengok sejarah Malaysia ke belakang tentunya juga harus melihat kondisi sosio politik yang berkembang di Malaysia yang kesemuanya itu merupakan faktor penentu dari produk hukum yang dihasilkan

Gambaran Umum Tentang Negara Malaysia
Malaysia merupakan Negara bagian yang memiliki tigabelas Negara Federasi diantaranya Johor, Kedah, Kelantan, Malaka, Negerisembilan, Pahang, Perak, Perlis, Pulau Pinang, Sabah, Serawak, Selangor dan Trengganu dan tiga wilayah persektuan[2] diantaranya Kuala Lumpur, Labuan dan Putra Jaya. Negara Malaysia pernah berada di bawah kekuasaan Portugis dan Belanda sebelum menjadi wilayah jajahan Inggris sejak akhir abad ke-18. Traktat Inggris-Belanda yang ditandatangani pada tahun 1824 di London meresmikan kekuasaan Inggris di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Malaysia dan Singapura. Kedua Negara ini adalah penerus wilayah-wilayah yang pada masa penjajahan disebut Straits Settlement ( Penang, Singapura dan Malaka), Federated Malay States ( Selangor, Perak, Pahang, Negeri Sembilan) dan Unfederated Malay States (Perlis, Kedah, Kelantan, Terengganu, dan Johor). Sabah dan Serawak yang dulu disebut sebagai Borneo Inggris, kemudian bergabung dengan Malaysia.[3]
Federasi Malaysia telah merdeka dari jajahan Inggris pada tanggal 31 Agustus 1957. Penganut Agama Islam pada tahun 2004 sekitar 60 persen dari keseluruhan jumlah penduduk, sebagian besar umat Islam di Malaysia bermazhab Syafi'I sekalipun ada juga yang menganut mazhab Hanafi walau dalam jumlah sedikit. Agama-agama lain yang ada di Malaysia diantaranya Budha ( Cina dan India), Hindu dan Kristen. Sebagaimana termaktub dalam konstitusi Malaysia pada bagian 1 Pasal 3 dinyatakan bahwa " Islam adalah agama Federasi", tetapi agama-agama lain diterima dan diperkenankan . Dalam konstitusi Malaysia juga menetapkan bahwa Kepala Negara bagian adalah kepala agama Islam. Dalam pasal 11 juga disebutkan bahwa Malaysia menerima prinsip kebebasan beragama.[4]
Hal yang menarik dari Konstitusi Malaysia sebagaimana dikatakan John L. Esposito[5] adalah bahwa konstitusi tersebut mengabadikan identifikasi agama dan etnik( kedudukan istimewa bagi Islam, Sultan dan kaum Muslim Melayu). Menurutnya konstitusi tersebut mendefinisikan orang melayu sebagai " Orang yang mengaku memeluk agama Islam, terbiasa berbicara dengan bahasa melayu, dan menyesuaikan diri dengan adat-isitiadat Melayu".Orang-orang melayu menikmati hak istimewa yang mencakup system kuota Melayu dalam pendidikan, pemerintahan, dan bisnis.

Sosio Politik Negara Malaysia
Sebagaimana kita ketahui bahwa Malaysia merupakan Negara multi-komunal, Sejak awalnya dengan adanya dua etnis yakni Cina dan India merupakan masa dimana Malaya dalam proses Indianisasi, yang kemudian disusul pula upaya Islamisasi dari beberapa pedagang muslim dan para Sufi dari Arab. Atas dasar itu maka John L. Espositro[6] menganggap bahwa sejak periode paling awal di Malaysia, Islam mempunyai ikatan erat dengan politik dan Masyarakat, secara tradisional di Negara-negara bagian Melayu, seluruh aspek pemerintahan , jika tidak diambil langsung dari sumber dan prinsip keagamaan, diliputi oleh aura kesucian agama. Islam menjadi unsur inti identitas dan kebudayaan Melayu, memberikan kesadaran tentang agama, nilai-nilai tradisonal, kehidupan pedesaan dan kehidupan keluarga secara terpadu. Lebih jauh lagi dikatakan bahwa Islam merupakan sumber legitimasi para sultan, yang memegang peran sebagai pemimpin agama, pembela iman, dan pelindung hokum Islam, sekaligus pendidikan dan nilai-nilai adat. Islam dan identitas Melayu saling berjalin berkelindan, menjadi orang Melayu berarti menjadi Muslim.
Pada saat Melayu dijajah oleh Inggris nilai-nilai Islam sebagaimna tersebut diatas menjadi terusik, karena memang watak kolonialisme inggris adalah politik pecah belah, dismping itu juga adanya upaya Inggris untuk memisahkan antara Agama dan Negara hal ini terwujud dengan diperkenalkannya administrasi sipil dan sistem hukum yang berbeda dengan sistem hukum dan peradilan Islam. Pada saat yang sama, masyarakat juga menjadi lebih pluralistis yang disebabkan adanya imigrasi besar-besaran orang-orang non- Muslim Cina dan India. Usulan –usulan Inggris kepada serikat Melayu untuk bersatu dengan kesamaan hak warga Negara bagi semua orang ditolak oleh bangsa Melayu, karena dikhawatirkan adanya pertumbuhan populasi, kekuatan ekonomi, serta pengaruh komunitas Cina dan India .
Dari serentetan gejolak politik bangsa Melayu maka pada saat yang sama yakni pada tahun 1951 munculah Partai Islam pan Melayu (PMIP : Pan Malaya Islamic party) yang kini dinamakan dengan PAS( Partai Islam Se-Malaysia) yang menawarkan pesan dan program partai yang menggabungkan nasionalisme Melayu dan Islam.[7] Menurut Taufik Adnan bahwa partai ini lebih bersifat konservatif karena ingin menjadikan Islam sebagai landasan perjuangannya serta menjadikan Islam yang mereka pahami sebagai sistem cara hidup sempurna, yang mencakup aturan-aturan pidana Islam, sebagai konstitusi dan hukum yang berlaku di Malaysia.[8] Sementara UMNO ( United Malaya National Organization) yang didukung oleh ABIM[9] (Angkatan Belia Islam Malaysia) lebih kepada menggunakan pendekatan akomodatif dan moderat dan tidak kaku dalam memaknai Islam. Dapat penulis simpulakan bahwa dalam kancah perpolitikan nasional Malaysia terdiri dari dua kubu yang bersimpangan pendangan mengenai Islam. PAS lebih cendurung untuk menjadikan Negara Islam dalam arti Negara yang menjadikan hukum Allah sebagai hukum yang berdaulat yang berarti syariat islam menjadi konstitusi Negara. Sedangkan UMNO dan ABIM lebih kepada upaya menghidupkan nilai-nilai islam dalam konteks masyarakat yang pluralis serta bersikap akomodatf terhadap dua etnis ( Cina dan India) yang ada di Malaysia.

Hukum Keluarga Islam di Malaysia
Menurut Khiruddin Nasution bahwa setelah terjadinya pembaharuan UU Keluaraga Malaysia maka apabila dikelompokan maka Undang-Undang keluarga Islam yang berlaku di Malaysia akan lahir dua kelompok besar:[10]
UU yang mengikuti akta persekutuan yakni Selangor, Negeri Sembilan, pulau Pinang, Pahang, Perlis, Terengganu, Serawak dan Sabah.
Kelantan, Johor, Malaka, dan Kedah meskipun dicatat banyak persamaannya tetapi ada perbedaan yang cukup menyolok , yakni dari 134 pasal yang ada terdapat perbedaan sebanyak 49 kali.

UU Perakawinan di Malaysia dalam Sejarah

· Sebelum Penjajahan Inggris
Sebelum masuknya Inggris hokum yang berlaku adalah hokum Islam yang masih bercampur dengan hukum adat, menurut Abdul Munir Yaacob mengatakan bahwa undang-undang yang berlaku dinegara-negara bagian sebelum campur tangan inggris adalah adat pepatuh untuk kebanyakan orang-orang Melayu di Negarasembilan dan beberapa kawasan di Malaka, dan adapt Temenggung dibagian semenanjung. Sedangkan orang Melayu di Serawak mengikuti Undang-undang Mahkamah Melayu Serawak. Undang-undang tersebut sangat dipengaruhi oleh hukum Islam dan utamanya dalam maslah perkawinan, perceraian dan jual beli.[11]
· Masa Penjajahan Inggris
Pada tahun 1880 Inggris mengakui keberadaan hukum perkawinan dan perceraian Islam dengan memperkenalkan Mohammedan Marriage Ordinance, No.V Tahun 1880 untuk diberlakukan di Negara-negara selat (Pulau Pinang, Malaka, dan Singapore) yang isinya :[12]
BAB I : Pendaftaran Perkawinan dan perceraian ( Pasal 1 sd 23)
BAB II : Pelantikan Qadi ( pasal 24 s.d 26)
BAB III : Harta Benda dalam Perkawinan (Pasal 27)
BAB IV : Ketentuan Umum ( Pasal 28 s,d 33)
Sementara untuk Negara-negara Melayu berskutu ( perak, Selangor, Negerisembilan, dan Pahang) diberlakukan Registration of Muhammadan Marriages and Divorces Enactment 1885. dan untuk Negara-negara Melayu tidak bersekutu atau Negara-negara bernaung (kelantan, terengganu, perils, Kedah dan Johor) diberlakukan The Divorce Regulation tahun 1907.[13]

· Setelah Merdeka
Setelah Malaysia merdeka upaya pembahruan hukum keluarga sudah mencakup seluruh aspek yang berhubungan dengan perkawinan dan perceraian, bukan hanya pendaftaran perkawinan dan perceraian seperti pada undang-undang sebelumnya. Usaha tersebut dimulai pada tahun 1982 oleh Melaka, Kelantan dan Negeri sembilan yang kemudian diikuti oleh Negara-negara bagian lain. Undang-undang perkawinan Islam yang berlaku sekarang di Malaysia adalah undang-undang perkawinan yang sesuai dengan ketetapan undang-undang masiang negeri. Undang-undang Keluarga tersebut diantaranya :[14] UU Keluarga Islam Malaka 1983, UU Kelantan 1983, UU Negeri Sembilan 1983, UU Wilayah Persekutuan 1984, UU Perak 1984 ( No.1), UU kedah 1979, UU Pulau Pinang 1985, UU Trengganu 1985, UU Pahang 1987, UU Selangor 1989, UU johor 1990, UU Serawak 1991, UU Perlis 1992, dan UU Sabah 1992.

Materi Hukum Keluarga Islam di Malaysia

Pencatatan Perkawinan di Malaysia
Hukum Perkawinan di Malaysia juga menharuskan adanya pendaftaran atau pencatatan perkawinan. Proses pencatatan secara prinsip dilakukan setelah Akad Nikah. Hanya saja dalam prakteknya proses pencatatan ada tiga jenis diantaranya :
Pertama: Untuk yang tinggal di Negara masing-masing pada dasarnya pencatatan dilakukan segera setelah selesai akad nikah, kecuali Kelantan yang menetapkan tujuh hari setelah akad nikah dan pencatatan tersebut disaksikan oleh wali dan dua orang saksi dan pendaftar. Sebagaimana dalam UU Pulau Pinang Pasal 22 Ayat 1 dinyatakan :
Selepas Sahaja akad nikah sesuatu perkahwinan dilakukan, Pendaftar hendaklah mencatat butir-butir yang ditetapkan dan ta'liq yang ditetapkan atau ta'liq lain bagi perkahwinan didalam daftar perkahwinan.

Kedua: Orang asli Malaysia yang melakukan perkawinan dikedutaan Malaysia yang ada diluar negeri. Untuk kasus ini proses pencatatan secara prinsip sama dengan proses orang Malaysia yang melakukan perkawinan di negaranya. Perbedaanya adalah hanya pada petugas pendaftar, yakni bukan oleh pendactar asli yang angkat di Malaysia , tetapi pendaftar yang diangkat di kedutaan atau konsul Malaysia di Negara yang bersangkutan. Sebagimana dalam UU Pulau Pinang Pasal 24 Ayat 1 dinyakatakan :
(1) Tertakluk kepada subsyksen. (2) perkahwinan boleh diakadkan mengikuti hokum syara oleh pendaftar yang dilantik dibawah seksyen.

Dalam Pasal 28 Ayat 3 dinyatakan :

Dikedutaan Suruhhanjaya Tinggi atau pejabat konsul Malaysia dimana-mana Negara yang telah memberitahu kerajaan Malaysia tentang bentahannya terhadap pengakad nikahan perkawinan di kedutaan Suruhanjaya Tinggi atau pejabat konsul itu.


Ketiga : Orang Malaysia yang tinggal di luar negeri dan melakukan perkawinan tidak di kedutaan atau konsul Malaysia yang ada di Negara bersangkutan. Proses untuk kasus ini adalah bahwa pria yang melakukan perkawinan dalam masa enam bulan setelah akad nikah, mendaftarkan kepada pendaftar yang diagkat oleh kedutaan dan konsul terdekat. Apabila yang bersangkutan pulang ke Malaysia sebelum habis masa enam bulan maka boleh juga mendaftar di Malaysia. Ketentuan ini berdasarkan UU Serawak pasal 29 ayat 1, UU Kelantan dan UU Negara sembilan.

Pembatasan Usia Perkawinan
Dalam peraturan perundang-undangan Malaysia membatasi usia perkawinan minimal 16 tahun bagi mempelai perempuan dan 18 tahun bagi mempelai laki-laki. Ketentuan ini berdasarkan UU Malaysia yang berbunyi :
Had umur perkahwinan yang dibenarkan bagi perempuan tidak kurang dari 16 tahun dan laki-laki tidak kurang daripada 18 tahun. Sekiranya salah seorang atau kedua-dua pasangan yang hendak berkahwin berumur kurang daripada had umur yang diterapkan, maka perlu mendapatkan kebenaran hakim syariah terlebih dahulu.


Perceraian di Malaysia
Adapun alas an –alasan perceraian dalam undang-undang keluarga di Malaysia adalah sama dengan alas an-alasan terjadinya fasakh. Sebagaimana dalam UU Perak dan UU Pahang disebutkan ada lima alas an yang menyebabkan terjadinya perceraian, diantaranya :
Suami gila /mengidap penyakit kusta.
Suami impotent.
Izin/perstujuan perkawinan dari istri secara tidak sah, baik karena paksaan.
Pada waktu perkawinan istri sakit jiwa.
Atau alasan –alasan yang sah untuk fasakh menurut sayri'ah.
Sementara yang berlaku di Negarasembilan, Persekutuan Pulau Pinang dan Selangor , tercatat beberapa alas an sama seperti di Perak dan Pahang tetapi ada beberapa tambahan alas an diantaranya :
a. Tidak diketahui tempat tinggal suami selama satu tahun.
b. Suami tidak memberi nafkah selama tiga bulan.
c. Suami dipenjara selama tiga tahun atau lebih.
d. Suami tidak memberikan nafkah batin selama satu tahun.
e. Isteri dinikahkan bapak sebelum berumur enambelas tahun menolak perkawinan tersebut dan belum disetubuhi suami.
f. Suami menganiaya isteri.
Dari beberapa alas an tersebut diatas ada tiga hal yang perlu dperhatikan. Pertama, meskipun semua undang-undang menjadikan unsure gila sebagai alas an perceraian. Undang-undang Negeri sembilan, Pulau Pinang, Selangor dan Serawak mensyaratkan sakitnya minimal 2 tahun. Sementara UU Kelantan, Pahang, Perak tidak mensyaratkan batas minimal. Kedua, semua undang-undang mencantumkan alas an-alasan lain untuk fasakh. Ketiga, Undang-undang kelantan, Negeri sembilan, perskutuan Pulau Pinang, Selangor dan Serawak mencantumkan perkawinan paksa sebagai salah satu alasan perceraian.

Poligami di Malaysia
Berdasarkan Undang-undang Perkawinan di Malaysia tentang boleh atau tidaknya seorang laki-laki melakukan poligami. Adapun mengenai syarat yang harus dipenuhi bagi seseorang yang hendak melakukan poligami adalah adanya izin tertulis dari Hakim, ketentuan ini hamper tercantum di semua undang-undang perkawinan Negara bagian. Namun demikian ada beberapa berbedaan yang secara garis besar dapat dikelompokan menjadi diantaranya :
Pertama, yang merupakan kelompok mayoritas ( UU Negeri sembilan Pasal 23 ayat 1, UU Pulau Pinang Pasal 23 ayat 1, UU Selangor pasal 23 ayat 1, UU Pahang Pasal 23 ayat 1, UU Wilayah Persekutuan Pasal 21 ayat 1, UU Perak Pasal 21 ayat1 dalam pasal-pasal tersebut dinyatakan:
Tiada seorang laki-laki boleh berkahwin dengan seorang lain dalam masa dia masih beristrikan istrinya yang sedia ada kecuali dengan terlebih dahulu mendapatkan kebenaran secara tertulis daripada hakim syari'ah, dan jika dia berkahwin sedemikian tanpa kebenaran tersebut maka perkawinan itu tidak boleh didaftarkan dibawah
Enakmen.

Dalam UU Perak pasal 21 ayat 1 ada tambahan kalimat :
Mendapat pengesahan lebih dahulu dari Hakim bahwa ia akan berlaku adil terhadap isteri-isterinya.


Kedua, Poligami tanpa adanya izin dari pengadilan boleh didaftarkan denga syarat lebih dahulu membayar denda atau menjalani hukuman yang telah ditentukan. Ketentuan ini berlaku terhadap Negara-negara seperti Serawak dan Kelantan> Pertimbangan pengadilan memberi izin atau tidak, dilihat dari pihak isteri dan suami. Adapun beberapa alas an yang dapat dikemukakan isteri diantaranya, karena kemandulan, udzur jasmani, tidak layak dari segi jasmani untuk bersetubuh, isteri gila. Sedangkan beberapa alas an yang dapat dikemukakan suami diantaranya, kemampuan secara ekonomi, berusaha untuk bias berbuat adil, perkawinan yang dilakukan tidak membahayakan agama, nyawa, badan, akal, atau harta benda isteri yang lebih dahulu dinikahi.

Ketentuan Pidana dalam UU Perkawinan di Malaysia
Ketentuan piadana UU Perkawinan di Malaysia secara tegas diatur dalam perundang-undangannya, seperti dalam beberapa masalah seperti berikut :
1. Poligami
Suami yang melakukan poligami tidak sesuai dengan aturan perundang-undangan yang ditetapkan, secara umum dapat dikenakan hukuman berupa hukuman denda maksimal seribu ringgitatau kurungan maksimal 6 bulan atau kedua-duanya sekaligus. Demikian juga bagi suami yang tidak mampu berlaku adil terhadap isteri-isterinya dapat digolongkan sebagai orang yang melanggar hokum dapat dikenakan sangsi hukuman denda maksimal seribu ringgit atau kurungan maksimal 6 bulan atau kedua-duanya.


2. Pencatatan Perkawinan
Bagi orang yang melakukan perkawinan di luar Malaysia dan tidak sesuai dengan aturan yang ada adalah perbuatan melnaggar hukum maka dapat dihukum dengan membayar denda sebesar seribu ringgit atau penjara maksimal 6 bulan atau kedua-duanya.
3. Perceraian
Bagi orang yang malanggar peraturan tentang perceraian, baik suami atau isteri, misalnya melakukan perceraian di luar pengadilan dan tidak mendapatkan pengesahan atau pengakuan dari pengadilan, atau membuat surat pengakuan palsu bias dihukum dengan hukuman denda sebesar seribu ringgit atau penjara maksimal enam bulan atau kedua-duanya.

Perkawinan Beda Agama
Larangan perkawinan beda Agama di Malaysia didasarkan pada ketentuan yang termuat dalam seksyen 51 Akta pembaharuan UU ( Perkawinan dan Perceraian) 1976 sebagaimana disebutkan :
Jika salah satu pihak kepada suatu perkahwinan telah masuk Islam, pihak yang satu tidak masuk Islam boleh untuk perceraian. Dengan syarat bahwa tiada suatu permohonan dibawah syeksen boleh diserahkan sebelum tamat tempo tiga bulan dari tarikh masuk Islam itu.
Oleh : Fathudin Alkalimasy



Daftar Pustaka

Adnan Amal, Taufik dkk, Politik Syariat islam dari Indonesia hingga Nigeria, ( Jakarta : Pustaka Alvabet, 2004) cet. 1
L. Esposito, John, Identitas Islam Pada Perubahan Sosial Politik,( Jakarta : PT. Bulan Bintang, 1986) cet.1
--------------------, Demokrasi di Negara-Negara Muslim, (Jakarta : Penerbit Mizan, 1999) Cet. 1
Nasution, Harun dan Azyumardi Azra, Perkembangan Modern Dalam Islam,( Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1985) Cet.1
Nasution, Khairuddin dan Atho' Muzdhar, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern; Studi Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari Kitab-Kitab fiqih, (Jakarta : Ciputat Press,2003) Cet.1



















[1] John L. Esposito dan John O.Voll, Demokrasi di Negara-Negara Muslim, ( Jakarta : Penerbit Mizan, 1999) hlm.165
[2]Wilayah persekutuan adalah salah satu negeri atau wilayah yang membentuk persekutuan tanah Melayu ( Malaysia).Wilayah persekutuan diperintah secara langsung oleh kerajaan persktuan dibawah kekuasaan Perdana Mentri. Lihat taufik Adnan Kamal dan Samsu Rizal Panggabean, Politik Syariat Islam dari Indonesia hingga Negeria,( Jakarta : Pustaka Alvabet, 2004) hlm.156
` [3] Adnan Kamal dan Samsu Rizal Panggabean, Ibid, hlm.156
[4] Ibid, hlm.157.
[5]John L. Esposito, Demokrasi di Negara-Negara Muslim,( Jakarta : Penerbit Mizan, 1999) hlm.167
[6]John L. Esposito, Demokrasi di Negara-Negara Muslim,( Jakarta : Penerbit Mizan, 1999) hlm.166

[7]John L. Esposito, Demokrasi di Negara-Negara Muslim,( Jakarta : Penerbit Mizan, 1999) hlm.166
[8] Taufik Adnan Kamal dan Samsu Rizal Panggabean, Politik Syariat Islam dari Indonesia hingga Negeria,( Jakarta : Pustaka Alvabet, 2004) hlm.
[9]ِABIM adalah gerakan pemuda Islam yang lebih mendukung UMNO dipimpin oleh oleh aktivis muda Anwar Ibrahim almunus Universitas Malaysia, diantara pemikirannya adalah dia tidak sepakat dengan adanya usaha pembentukan undang-undang yang ditawarkan PAS mngenai khalwat yang dan bagian-bagian kecil lain dari ajaran Islam. Menurutnya bahwa hal yag perlu mendapat perhatian pada persoalan hubungan komunal, politik dan ekonomi . Lihat John L. Esposito , Identtas Islam Pada Perubahan Sosial Politik,( Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1986)hlm.261.
[10] Khoiruddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, Studi Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari Kitab-Kitab Fiqih, (Jakarta :Ciputat Press,2003) hlm.22
[11] Abdul Monir Yacob, Pelaksanaan Undang-Undang dalam Mahkamah Syariyah dan Mahkamah Sipil di Malaysia,( Kuala Lumpur: Institut Kefahaman Malaysia (IKIM), 1995) hlm.8
[12] Nasution Khoiruddin, Status Wanita di Asia Tenggara; Studi Terhadap Perundang-Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia ( Jakarta : INIS, 2002) hlm 62-65
[13] Khoiruddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, Studi Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari Kitab-Kitab Fiqih, (Jakarta :Ciputat Press,2003) hlm 20
[14] Khoiruddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, Studi Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari Kitab-Kitab Fiqih, (Jakarta :Ciputat Press,2003) hlm.20-21

URGENSI ILMU PERBANDINGAN HUKUM


Perbandingan Hukum sebagai satu disiplin ilmu memang dianggap masih muda, karena disiplin ilmu ini baru lahir dan tumbuh secara pesat pada akhir abad 19 atau pada permulaan abad ke 20. Sebelumnya memang sudah dilakukan upaya-upaya memperbandingkan beberapa sistem hukum pada saat itu, hanya saja pada saat itu belum dapat dikatakan telah dilakukan penelitian dengan cara perbandingan yang dilaksanakan secara sistematis dan berkesinambungan. Fokus pembahasan disiplin ilmu ini adalah meneliti ada atau tidaknya persamaan atau perbedaan diantara beberapa system hukum yang ada, juga menyelidiki sebab-sebab atau yang menjadi latar belakang persamaan atau perbedaan tersebut. Dengan adanya sebab-sebab persamaan dan perbedaan tersebut maka implikasinya adalah bahwa system hukum yang berlaku di Negara-negara didunia memperlihatkan perbedaan, meskipun didalam segala perbedaan tersebut terdapat juga beberapa unsur persamaannya.
Oleh karena bahwa system hokum di di Negara-negara tidaklah sama maka maksud upaya membandingkan adalah agar ditemukan jiwa dan ratio daripada suatu peraturan hokum tertentu. Perbandingan hokum dapat dilakukan baik dibidang hokum privat maupun hokum pidana. Bahkan dapat pula dilakukan dengan membanding-bandingkan suatu lembaga hokum dimasa yang lampau dengan lembaga hokum di masa sekarang. Maka jelaslah akan urgensi daripada ilmu perbandingan hokum, untuk pemakalah akan mencoba memberikan sedikit gambaran mengenai objek, tujuan dan manfaat perbandingan hokum.

OBJEK PERBANDINGAN HUKUM

Di dalam bukunya “Perbandingan Hukum Perdata” Prof.. H,R.Sardjono,SH mengatakan bahwa para ahli perbandingan hokum tidak terdapat kata sepakat mengenai obyek perabandingan hokum bahkan pada saat sekarang kebanyakan orang beranggapan bahwa perbandingan hokum tidak mempunyai obyek tersendiri tetapi mempelajari hubungan-hubungan social yang telah menjadi obyek studi dari cabang-cabang ilmu hokum yang telah ada. Menurut hemat penulis ungkapan tersebut mungkin didasarkan pada pengertian dan posisi perbandingan hokum sebagai metode penelitian. Sebagai metode peneletian perbandingan hokum dapat dipergunakan disemua cabang ilmu hokum, seperti hokum perdata, hokum pidana, hokum tata Negara dan sebagainya, atas dasar pengertian ini maka obyek perbandingan hokum memang tidak tersendiri artinya masih mempelajari daripada obyek studi dari cabang-cabang ilm hukum yang ada
Dalam buku Pengantar Ilmu Hukum, Soeroso menyebutkan bahwa Perbandingan hokum dapat mengarah kebidang sejarah hokum, sosiologi hokum, dan dapat juga mengarah ke filsafat hokum yaitu Mengarah ke bidang sejarah hokum apabila yang dibandingkan adalah hokum—yang sifat dan coraknya sama—pada masa lampau dengan hukum pada masa sekarang, misalnya lembaga hokum “milik” dari hokum inggris pada masa sekarang dibandingkan dengan lembaga hokum milik pada masa pertengahan dan pada zaman kuno.
Perbandingan Hukum dapat menjurus ke arah filsafat hokum apabila persamaan-persamaan, daripada lembaga-lembaga hokum yang dibandingkan merupakan inter dan hakikat daripada lembaga hokum yang dibandingkan. Misalnya hakikat lembaga hokum perkawinan menurut BW dibandingkan dengan hakikat lembaga hokum perkawinan menurut hokum adat.
Perbandingan Hukum dapat menjurus ke arah sosiologi hokum apabila dua atau lebih system hokum disuatu Negara dibandingkan dengan system hokum di Negara lain, misalnya system hokum di Afrika dibandingkan dengan system hokum di Indonesia ternyata system hokum di Afrika berlainan dengan system hokum di Indonesia, kebudayaan dan pola politik. Jadi perbedaan kebudayaan dan cara hidup bangsa mengakibatkan system hokum yang berbeda.
Dari beberapa keterangan diatas penulis memang sepakat bahwa obyek kajian perbandingan hokum masih mencakup objek studi pada cabang-cabang ilmu hokum yang telah ada.

TUJUAN PERBANDINGAN HUKUM

`Kenyataan menunjkan bahwa tiap negara mempunyai kebudayaan dan hukumnya sendiriyang berbeda dengan hokum dan kebudayaan Negara lainnya, misalkab hokum Anglo Saxon berbeda dengan hukm Eropa Continental, berbeda pula dengan hokum-hukum Negara sosialis, nbahkan hokum menurut BW yang berlaku di Indonesia berbeda dengan hokum adapt kita. Untuk mengetahui adanya perbedaan dan persamaan itu serta utuk mengetahui latar belakangnya, perbandingan hokum mempunyai peranan penting.
Tujuan Perbandingan Hukum belum ada kesepakatan antara para ahli , sebagaimana Soeroso,SH yang mengutip pendapat Main dalam bukunya “Village Communities” dan Pollack dalam bukunya “ The History of Comparative Jurisprudence” mengatakan bahwa tujuan perbandingan hokum adalah membantu menyelusuri asal-usul perkembanagan daripada konsepsi hokum yang sama di seluruh dunia .Sementara Randall mengatakan bahwa tujuan daripada perbandingan hokum diantaranya;
Usaha mengumpulkan berbagai informasi mengenai hokum asing.
Usaha mendalami pengalaman-pengalaman yang dibuat dalam studi hokum asing dalam rangka pembaharuan hokum.
Disamping itu dalam Kongres Ilmu pengetahuan Hukum tahun 1960, munculah gagasan bahwa tujuan daripada Perbandingan Hukum adalah untuk tercapainya perundang-undangan yang bersifat umum
[1] pernyataan ini didasarkan pada bahwa dari perbedaan serta persamaan yang ada dalam berbagai system hukun di dunia maka akan terbentuk suatu unifikasi hokum yang bersifat universal, seperti hokum perdata internasional, hokum dagang internasional dan sebaginya, yang didalamnya sudah mengadopsi dan memuat berbagi kepentingan dari berbagi Negara.
Penulis mengambil kesimpulan kalau kita telaah lebih lanjut, maka sebenarnya tujuan perbandingan hokum tidak semata-matauntuk mengetahui adanya perbedaan dan persamaan daripada hokum yang kita bandingkan, tetapi yang terpentying adalah untuk mengetahi sebab dan latar belakang daripada perbedaan dan persamaan tersebut. Sebagaimana yang di sebutkan oleh Prof.H.R.Sardjono, SH, diantara sebab-sebab adanya persamaan hukum atau system hokum diantaranya :
Adanya persamaan dalam pola politik atau pola kebudayaan Negara-negara bersangkutan.
Adanya pertukaran kebudayaan antara bangsa yang satu dengan yang lain.
Penyusupan (Infiltrasi) ketentuan-ketentuan hokum, lembaga-lembaga hokum dan buah pikiran tentang hokum dari Negara asing ke dalam peruindang-undangan, peradilan dan literature hokum suatu Negara; dengan demikian juga infiltrasi kedalam hokum positif suatu Negara.
Kebutuhan masyarakat yang bersifat uiniversal.

Adapun sebab-sebab adanya perbedaan antara lain :
1. Keadaan tanah dan iklim.
2. Pertumbuhan dan perkembangan yang berbeda dari dua bangsa disebabkan oleh peperangan, revolusi atau perjanjian oleh suatu Negara asing.
3. Pengaruh oleh orang-orang tertentu.
4. Keadaan social ekonomi.
5. Perbedaan Agama dan perbedaan pola politik atau pola kebudayaan dari bangsa-bangsa yang bersangkutan.

MANFAAT PERBANDINGAN HUKUM

Adapun beberapa manfaat dari perbandingan hokum bias dipetakan menjadi dua, yakni manfaat yang bersifat ilmiah dan manfaat yang bersifat praktis.
1. Manfaat yang bersifat Ilmiah
Dengan membanding-bandingkan hokum kita dapat menemukan adanya unsure-unsur persamaan dan unsure-unsur perbedaan antara system-sistem atau lembaga-lembaga yang kita bandingkan. Selain itu juga kita dapat mengungkap apa yang menjadi latar belakang dari persamaan maupun perbedaan tersebut yang pada akhirnya menemukan hakikat daripada hokum yang di perbandingkan. Dengan mengetahi latar belakang dan sebab-sebab adanya persamaan dan perbedaan tersebut kita dapat mendalami dan lebih mengerti tentang hokum kita sendiri maupun hokum asing.Disamping itu juga kita dapat berkenalan dengan ide-idehukum dari bahasa lain.

2. Manfaat yang bersifat Praktis
Manfaat yang bersifat praktis antara lain :
Perbandingan Hukum dapat menunjang usaha pembentukan hokum nasional.
Perbandingan hokum sebagai factor penting bagi usaha unifikasi hokum.
Perbandingan hokum juga penting dalam rangka usaha menumbuhkan saling pengertian yang lebih mendalam mengenai hokum kita sendiri.
Perbandingan Hukum juga penting dalam rangka pelaksanaan HPI (Hukum Perdata internasional )
Oleh : Fathudin Alkalimasy

PERTISIPASI PUBLIK DALAM PEMBUATAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


Dalam sebuah Negara demokrasi peranan dan kedudukan masyarakat tidak dapat dipisahkan dari adanya keikutsertaan dalam proses pembuatan kebijakan public sekalipaun tidak secara langsung dalam prosesnya, namun demikian bahwa salah satu cirri Negara demokrasi adalah Negara yang mengakui adanya kedaulatan rakyat artinya bahwa sisitem pemerintahan yang demokratis adalah sisitem pemerintahan yang meletakan kedaulatan dan kekuasaan berada ditangan rakyat. Semua proses pembuatan kebijakan yang menyangkut kepntingan rakyat harus didasarkan pada kedaulatan ini. Sehingga tidak dapat di pungkiri peran dari publik untuk ikut ambil bagian untuk berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijkan publik.
[1]
Partisipasi publik merupakan usaha yang terorganisir oleh warga Negara dalam membentuk rancangan perundng-undangan serta mempengaruhi bentuk dan jalannya kebijaksanaan umum,usaha ini dilakukan berdasarkan kesadaran akan tanggung jawab mereka terhadap kehidupan bersama sebagai suatu bangsa dalam suatu Negara.[2]
Partisipasi Masyrakat dalam mewujudkan penyusunan legislasi merupakan seasuatu yang harus ada agar proses kebijakan yang dibuat tidak terkesan pada kepentingan satu arah.Terminologi "legislasi" mualai menjadi istilah yang trend penggunaannya sekitar pada pertengahan tahun 1990-an yang didefinisikan sebgai "Membuat Undang-Undang",kemudian peruibahan UUD 1945 juga telah mengelaborasi terminolgi ini .Oleh karena itu "Pnyusunan legislasi" dapat diartikan sebagai "pembentukan undang-undang".
Lewat makalah ini pemakalah berusaha memaparkan keberadaan dan urgensi partisipasi public dalam proses pembuatan undang-undang yang merupakan upaya kroscek dan control terhadap draf RUU yang dibuat pemerintah agar tidak terkesan bahwa kebijakan yang dibuat pemerintah berorientasi pada kepentingan searah.
Sejak bulan November 2004 , proses pembuatan undang-undang yang selama ini dinaungi oleh beberapa peraturan kini mengacu pada satu undang-undang, yaitu Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP). Undang-undang ini disahkan dalam Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tanggal 24 Mei 2004 dan baru berlaku efektif pada bulan November 2004. Proses pembuatan undang-undang setelah berlakunya UU PPP terbagi menjadi beberapa tahapan, yaitu perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan (Pasal 1 angka 1 UU PPP)
Sementara menurut Erni Setiyowati dari PSHK (Pusat Studi Hukum dan Kebijakan) mengatakan bahwa produk perencanaan legislasi dan bagaimanapun isinya, setidaknya harus ada tiga hal yang harus dijadikan catatan. Pertama, harus ada visi yang jelas dalam penyusunan Prolegnas ini. Visi inilah yang seharusnya dijadikan pijakan untuk membuat rencana undang-undang apa saja yang harus disusun dalam lima tahun ke depan. Sebab, karena sifat pengaturan dan legitimasinya, pembaruan negara ini yang bersifat struktural dituangkan dalam bentuk legislasi. Apabila perencanaan ini tidak bervisi, akibatnya yang tersusun hanyalah daftar keinginan tanpa arah yang jelas. Kedua, dengan argumentasi yang sama, harusnya ada partisipasi masyarakat dalam penyusunan prioritas legislasi. Ketiga, perlu ada sistem evaluasi yang baik untuk menilai pencapaian Prolegnas ini setiap tahunnya, agar skala prioritas penyusunan undang-undang bisa didasarkan pada kondisi obyektif dan kebutuhan masyarakat.
[3]Jadi partisipasi masyarakat adalah sesuat yang tidak bisa ditinggalkan dalam prose pembentukan peraturan perundang-undangan.
Sementara pemahaman Pemerintah dan DPR terhadap istilah parisipasi adalah mengahdirkan beberapa segelintir orang dalam forum tertentu ,sebgai legitimasi telah hadirnya Menurut Arnstein bahwa. Partisipasi tersebut termasuk kedalam kategori partisipasi semu (tokenism ), kalau masyarakat mau mengikut pada tangga partisipasinya. Parisipasi semu sendiri menurut Arnstein masih terbagi dalam tiga tingkatan diantaranya tingkatan informasi (informing), konsultasi (Counsultation) dan peredaman (placation)
[4].Pada tahapan informasi masyarakat hanya diberikan informasi dan sifatnya hanya satu arah. Di Indonesia, dalam proses ini perancangan yang meliputi penyiapan, pengolahan dan perumusan RUU dilaksanakan oleh biro hukum atau satuan kerja yang menyelenggarakan fungsi di bidang peraturan perundang-undangan pada lembaga pemrakarsa, kemudian hasil rancangan disampaikan ke panitia antar departemen. Panitia antar departemen menyampaikan rumusan akhir kepada pemrakarsa. Setelah itu RUU disebarluaskan kepada masyarakat. Panitia antar departemen kemudian melakukan penyempurnaan berdasarkan masukan dari masyarakat [5]. Pada tahap konsultasi ,aspirasi masyarakat sudah didengar dalam pengambilan kebijakan, akan tetapi belum ada jaminan bahwa pendapat masyrakat akan di pertimbangkan. Dan terakhir pada tahap peredaman masyarakat sudah mempunyai pengaruh terhadap kebijakan ,akan tetapi sifatnya belum sejati, keberhasilannya masih di tentukan oleh solidnya kekuatan masyarakat dalam mengkritisi RUU atau Raperda dengan berbagi cara untuk berpartisipasi.
Berkenaan dengan diatas menurut Prof.Dr.Miftah Thoha bahwa salah satu diantara prinsip system pemerintahan demokratis adalah adanya konsultasi rakyat (Popular Consultation ) dimana prinsip ini mempuunyai dua ketentuan yakni:Pertama,Negara harus mempunyai mekanisme yang melembaga yang dipergunakan oleh pejabat –pejabat Negara untuk memahami dan mempelajari kebijakan public sesuai dengan yang dikehendaki dan dituntut oleh rakyat.Kedua,Negara mampu mengetahui secara jelas preferensi-preferensi rakyat.Dengan demikian pejabat-pejabat pemerintah bisa meletakan preferensi tersebut dalam kontek pembuatan kebijakan public walaupaun preferensi tersebut tidak seluruhnya terpakai.
[6]Jadi jelas bahwa parisipasi masuarakat dalam proses pembentukan undang-undang adalah merupakan pilar penting sebuah sitem pemerintahan yang demokratis.
Dalam amandemen UUD 1945 sebagaimana kita ketahui pada dua pasal yang dirubah berimplikasi pada penguatan posisi DPR sebgai lembaga legislatif,pergeseran kekuasaan legislatif terebut dapat diperhatikan dalam dua pasal perubahan UUD 1945,yaitu :
[7]
Pasal 5 (ayat 1) UUD 1945 ,yang semula menyatakan "Presiden memegang kekuasaan dalam membentuk Undang –undang dengan persetujuan DPR",diubah menjadi "Presiden berhak mengajukan rancangan Undang-Undang kepada DPR"
Pasal 20 (ayat 1) UUD 945, kembali menegaskan bahwa DPR sebgai pemegang kekuasaan untuk membentuk undang- undang.sedangkan dalam rumusan pasal 20 ayat 1 ini sebelumnya berbunyi "Tiap Undang-Undang menghendaki persetujuan DPR".
Darii perubahan yang terjadi diatas bahwa alasan yang mendasar adanya penguatan posisi DPR adalah karena DPR merupakan lembaga perwakilan rakyat , tempat rakyat menyampaiikan aspirasinya. Oleh karena itu DPR harus dapat merealisasiikan kekuasaanya sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 untuk kepentingan rakyat yang diwakilinya. Di Indonesia, secara formal RUU dirancang oleh presiden, DPR, dan DPD. Khusus untuk DPD, perancangan dilakukan terbatas pada RUU yang dapat diusulkan oleh DPD, sesuai dengan UUD, yaitu RUU yang berhubungan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah.
Dalam proses pembentukan perundang-undangan ,masyrakat berhak memberikan masukan baik secara tulisan maupun tertulid dalam rangka penyiapan dan pembahasan RUU dan Ranperda.Dalam hal ini, hak masyarakat dilaksanakan dengan sesuai tata tertib DPR dan DPRD (penjelasan pasal 53 UU) dalam UU sekarang sudah diatur tentang penyebarluasan draft RUU agar khalayak ramai mengetahuinya atau raperda yang dibahas di DPR dan di DPRD.Dengan tujuan agar masyarakat dapat memberikan masukan atau materi RUU atau Ranperda yang sedang dibahas tersebut.
[8]
Kelompok masyarakat sipil yang paling intens mendvokasi UU No.10/2004 adalah koalisi masyarakat sipil untuk kebijakan partisipatif atau sering disingkat (KKP) dan yang tergabung dalam kebijakan koalisi partisipatif,dan para individu yang concern seperti para akademisi, para pakar dan wartawan.koalisi kebijakan partsipatif (KKP) merupakan sebuah organisasi non pemerintah yang beranggotakan individu dan organisasi –organisasi masyarakat sipil.[9]Koalisi memiliki tujuan yang hendak dicapai yakni terwujudnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan kebijakan Negara dan KKp memiliki empat misi utama diantaranya:[10]
Mendorongmunculnya kelompok masyarakat yang ikut menentukan pengambilan keputusdan dan kebijakan Negara.
Mendorong munculnya masyarakat yang kritis dan terorganisir sehingga mampu mempengaruhi pengambilan keputusan kebijakan Negara.
Mendorang munculnya alternatif usulanmasyarakat dalam proses penyusunan penyiapan dan pembahasan keputusan dan kebijakan Negara.
Memperkuat hubungan dan kerja advokasi,kebijakan antara koalisi kelompok-kelompok masyarakatsipil pendukung.
Adapun latar belakang terbentuknya KKP adalah merupakan respom dari trend yang berkembang ,setidaknya ada empat yang melatarbelakangi siantaranya:
1. Trend pertama adalah bahwa pembentukan beragam produk perundang-undangan di tingkat pusat maupun daerah serta dampak yang ditimbulkan .Dampak yang dimaksud adalah tiap-tiap daerah berlomba membentuk peraturan di tingkat local berdsarkan logika kepentingan masing-masing daerah.
2. Trend kedua adalah terbentuknya ruang politik dan munculnya kesadaran dan keinginan public untuk berperan serta dalam prosses pengambilan kebijakan.
3. Trend ketiga adalah munculnya kesadaran aparatur Negara tentang pentingnya leterlibatan masyarakat dalam pengambilan kebijakan.
4. Trend yang ke empat adalah adanya trend komunikasi internasional yang mendorong pemenuhan HAM secra universal demi terwujudnya good governance,dimana partisipasi masyarakat merupakan persyaratan penting.
Demikian apa yang dapat pemakalah paparkan dan dapat diambil kesimpualan bahwa prtisipasi masyarakat atau public adalah satu prinsip yang sangat urgen dalam ikut serta pembentukan kebijakan atau peraturan perundang-undangan, dimana hal ini merupakan satu pilar penting dalam system pemerintahan yang demokratis.Dengan adanya partisipasi public terhadap peoses pembentukan kebijakan baik dengan usulan maupun kritikan adalah sebuah control dan upaya menghindari prduk kebijakan yang berorientasi pada kepentingan seaarah.Selain itu juga membantu pemerintah dalam proses penentuan kebijakan yang dikehendaki rakyat,karena dengan adanya partisipasi public setidaknya diketahui apa yang menjadi preferensi rakyat.

Oleh : Fathudin Alkalimasy